Rabu, 15 Juni 2016

Makalah contoh kasus hukum perikatan

Anggota kelompok :
Anita eka dewi
Lista fitri arianti
Maghfira laras sukma
Naomi febrianti

                KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Bekasi, 21 April 2016

Penulis

                  PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perikatan dalam arti luas meliputi semua hubungan hukum antara dua pihak dimana satu pihak itu ada hak dan dipihak lain ada kewajiban. Dengan berpegang pada perumusan seperti itu, maka di dalamnya termasuk semua hubungan hukum yang muncul dari hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak dan yang lain ada kewajiban.
Perikatan dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III “tentang Perikatan”. Dalam Buku III ini, membahas berbagai macam hal tentang perikatan yang terdiri dari 18 Bab, dan 631 Pasal. Pasal tentang perikatan dimulai dari pasal 1233 KHU Perdata sampai pasal 1864 KUH Perdata.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan apa yang terjadi antara PT.GPU (Gorby Putra Utama) dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy)?
Apa dasar hukum atau teori yang digunakah untuk menyelesaikan masalah atau kasus tersebut?
Bagaimana penyelesaian kasus tersebut?
Bagaimana akhir dari permasalahan atau kasus tersebut?

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui dasar atau permasalahan antara PT. GPU (Gorby Putra Utama) dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy).
Mengetahui dasar hukum atau teori tentang masalah atau kasus tersebut
Mengetahui penyelesaian dan akhir permasalahan atau kasus tersebut

                 PEMBAHASAN

2.1 Kronologi Kasus

Kasus antara PT.GPU (Gorby Putra Utama) dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy)

PT.GPU salah satu perusahaan peralatan yang menyediakan peralatan kebutuhan perkebunan tersandung masalah dengan PT.KSE. Kasus ini muncul saat keduanya menjalin kerjasama pada bulab maret 2012. Kala itu, PT.KSE memesan peralatan mesin traktor dan peralatan kebun lainnya dari PT.GPU, kemudian pada bulan mei tahun 2012 peralatan mesin perkebunan itu datang secara bertahap dan pada bulan juni 2012 pemesan peralatan mesin perkebunan itu usai atau telah tuntas.
Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 september 2012 peralatan mesin perkebunan itu telah rusak setelah dipakai beberapa bulan. PT.KSE menuding perusahaan PT.GPU ini mengingkari kontrak perbaikan mesin perkebunan mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1 tahun. Saat itu PT.KSE meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai selama 3 bulan, akan tetapi PT.GPU menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang membuat pihak PT.KSE naik pitam. Pada bulan desember 2012 PT.KSE pun menggugat ke PT.GPU dengan ganti rugi sebesar US$ 5 juta atau sekitar Rp 76 miliar ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu.
Dengan dasar itu, pada maret 2013 PT.KSE mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain, PT.GPU memiliki hutang perawatan mesin perkebunan milik PT.KSE sejak Agustus 2011, dan tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian tersebut PT.GPU memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian peralatan perkebunan, padahal peralatatan perkebunan itu sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak PT.KSE mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2012. Tapi tak kunjung dilunasi oleh PT.GPU hingga pertengahan tahun 2012.
Pada mulanya pihak PT.KSE tidak ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan antara PT.KSE dan PT.GPU sangat baik, namun setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak PT.KSE dengan cara mendatangi pihak PT.GPU di kantor PT.KSE, tetap saja tidak ada respon timbal-balik dari PT.GPU. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh PT.KSE dengan membawa perkara peralatan mesin perkebunan itu ke pengadilan bisa berbanding terbalik dengan perlakuan PT.GPU yang ingin menyelesaikan perkara hutang PT.KSE dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak PT.KSE bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.
Menurut Sugeng “PT.GPU sebagai salah satu perusahaan yang menyediakan peralatan perkebunan, telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan oleh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum PT.KSE akan menggugat PT.GPU ke pengadilan, begitulah, PT.GPU benar-benar dalam keadaan siaga satu

Contoh kasus persengkongkolan

kasus persekongkolan dalam rangka membocorkan rahasia dagang/perusahaan (Pasal 23) yang pernah dilakukan oleh perusahaan EMI Music South East Asia, Arnel Effendi, SH, DEWA 19 (group musik) dan Iwan Sastra Wijaya. Kasus ini terjadi ketika DEWA 19 memutuskan untuk pindah dari PT Aquarius Musikindo ke EMI Music South East Asia. Pada awal SEWA 19

membuat perjanjian dengan PT Aquarius Musikindo dengan No. 001/JS/DW/07/04, tertanggal 12 Juli 2004 yang secara garis besar menyatakan, bahwa : artis secara bersama-sama (group) maupun perseorangan akan terikat secara formal kepada PT Aquarius untuk menjual master rekaman artis secara eksklusif sebanyak 1 (satu) album, yaitu album Laskar Cinta (Vol 4) yang ditambah dengan 4 (empat) lagu baru lainnya yang akan digabungkan dengan lagu-lagu artis yang telah pernah beredar untuk kepentingan pembuatan album-album kompilasi atau The Best (Repackage), dengan jangka waktu keterikatan secara eksklusif sebagai berikut :

Artis akan menyerahkan 4 (empat) lagu baru kepada PT Aquarius dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak album artis “Laskar Cinta” diedarkan oleh PT Aquarius;
Apabila di dalam jangka waktu tersebut dalam point a, si artis belum menyerahkan 4 (empat) lagu baru, maka artis masih terhitung terikat dalam perjanjian secara eksklusif dengan PT Aquarius.
Pada saat belum menyerahkan ke-empat lagu baru sebagaimana telah diperjanjikan, ternyata DEWA 19 telah memutuskan untuk pindah ke EMI Music South East Asia karena alasan ingin go internasional. Bukti yang dapat menguatkan terjadi persekongkolan dalam kasus ini adalah peran Jusak Irwan dan Arnel Affandi, SH ketika turut serta mengubah beberapa paragraf kontrak antara EMI South East Asia dengan DEWA 19. Posisi Jusak Irwan yang saat itu sebagai Managing Director PT EMI Indonesia tidak dapat dibenarkan ikut serta dalam proses penandatanganan kontrak.

Sebagai anggota Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), Jusak seharusnya memberitahu EMI South East Asia bahwa DEWA 19 sudah terlebih dahulu terikat perjanjian dengan PT Aquarius Musikindo. Tindakannya justru menguatkan, bahwa penandatanganan kontrak DEWA 19 dengan PT EMI South East Asia untuk menghindari pasal 7 dan 9 Buku Putih ASIRI. Apalagi Arnel Affandi S.H. adalah mantan konsultan hukum PT Aquarius Musikindo yang tentunya mengetahui sebagian besar isi kontrak antara DEWA 19 dengan PT Aquarius Musikindo, karena terjadinya penandatanganan perjanjian DEWA 19 dengan PT Aquarius Muskindo (12 Juni 2004) hanya selang lebih kurang satu bulan sebelum penandatanganan perjanjian DEWA 19 dengan PT EMI SEA yaitu pada tanggal 19 Juli 2004.

Persekongkolan yang dilakukan oleh EMI Music South East, PT EMI Indonesia serta DEWA 19, Iwan Sastra Wijaya dan Arnel Effendi merupakan tindakan melanggar Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999, sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, dan pada akhirnya membuat iklim usaha tidak kondusif serta merugikan pihak lain (pelaku usaha peasing), yaitu PT Aquarius Musikindo. Dalam perkara ini yang menderita kerugian atas berpindahnya DEWA 19 adalah PT Aquarius Musikindo, yaitu sebesar Rp. 4.295.627.881,00, namun KPPU menilai, bahwa kerugian wajar dan riil yang diderita oleh PT Aquarius Musikindo hanya sebesar Rp. 3.814.749.520,00.

Sumber

https://ibelboyz.wordpress.com/2012/03/23/hukum-persaingan-usaha-persekongkolan/

Contoh Kasus persaingan pasar tidak sehat

Kasus PT Carrefour Indonesia dan keputusan KPPU

Kasus PT Carrefour sebagai Pelanggaran UU No. 5  Tahun 1999. Salah satu aksi perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi. Dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat diambil alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi. Akuisisi  biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya  dikenal dengan istilah acquisition atau take over . pengertian acquisition atau take over  adalah pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain. Istilah Take over  sendiri memiliki 2 ungkapan , 1. Friendly take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over (akuisisi yang bersifat “mencaplok”) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut.
Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih.
Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun 2007, yaitu Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor , mitra usaha lainnya dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan usaha. Dalam sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1) huruf a UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.. Pasal 17 UU No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan.    majelis Komisi menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99% (2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan ini sebesar 46,30%. sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan mempunyai posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2 UU No.5 Tahun 1999.
Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi dominan ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan potongan-potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema trading terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms kepada pemasok meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis Komisi, tidak berdaya menolak kenaikan tersebut karena  nilai penjualan pemasok di Carrefour cukup signifikan

Sumber ;
http://aryo-bony-anggoro.mhs.narotama.ac.id/2011/10/23/kasus-monopoli-pasar-carrefour-indonesia/