Latar Belakang
Lahirnya Pemerintahan Masa Transisi Lahirnya Masa Transisi ditandai dengan
jatuhnya pemerintahan.
I. Masa Transisi Pergantian Kekuasaan Dari
Orde Lama Ke Orde Baru :
Orde lama
adalah masa masa kepemimpinan Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno sejak
Dekrit Presiden pada Juli 1959 hingga tahun 1966. Sedangkan, orde baru adalah
masa masa kepemimpinan Presiden kedua Indonesia sekaligus merupakan presiden
Indonesia terlama yang berkuasa, Jenderal Suharto sejak keputusan pada Sidang
Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968 hingga reformasi
tahun 1998. Diantara 2 masa yang sangat menarik dan berpengaruh pada sejarah
Bangsa Indonesia itu terdapat sebuah masa yang sangat menarik untuk dibahas dan
penuh dengan kontroversi. Masa itu berlangsung sejak G30S/PKI dimana terjadi
pembunuhan Dewan Jenderal hingga Sidang Umum MPRS pada 27 Maret 1968 yang
memutuskan bahwa Jenderal Suharto diangkat menjadi Presiden kedua Indonesia
menggantikan Ir. Soekarno yang lengser setelah pidato pertanggungjawabannya
yang berjudul “Nawaksara” ditolak oleh MPRS.
Masa tersebut
adalah masa transisi Indonesia, di masa tersebut terjadi pergantian kekuasaan
yang disertai dengan kontroversi-kontroversi baik pro maupun kontra terhadap
pengangkatan Jenderal Suharto sebagai Presiden kedua Indonesia. Akan tetapi,
diantara sekian banyak kontroversi tersebut ada hal yang masih menjadi misteri
hingga sekarang. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pun belum bias
memecahkannya. Hal itu adalah Surat Perintah Sebelas Maret atau lebih dikenal
dengan Supersemar yang terjadi pada tahun 1966.
Empat puluh
enam tahun berlalu, misteri Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) hingga
kini belum juga terpecahkan. Di mana naskah asli surat tersebut juga masih
belum bisa ditemukan. Keraguan akan keaslian naskah Supersemar yang disimpan
ANRI muncul setelah tumbangnya Orde Baru pada 1998. Keraguan publik soal
otentisitas surat perintah dari Presiden Soekarno ke Menteri Panglima Angkatan
Darat, Letjen Soeharto, kala itu semakin diperkuat oleh beberapa saksi sejarah
bekas tahanan politik Orde baru yang akhirnya buka suara. Sejumlah versi proses
terbitnya Supersemar pun beredar. Entah siapa yang benar.
Hal tersebut sangatlah
memalukan mengingat sangat pentingnya “peran” dari Supersemar. Tanpa Supersemar
mungkin saja Indonesia masih berada dibawah kekuasaan PKI, mungkin saja
Indonesia tidak akan kehilangan blok-blok yang dicaplok oleh Freeport dan
koleganya, mungkin saja Ir Soekarno tidak akan meninggal karena sakit, dan
masih banyak kemungkinan lainnya.
Selain itu,
Supersemar juga mengundang banyak pertanyaan. Mengapa Supersemar yang
dititahkan oleh Presiden Soekarno justru malah menjatuhkan beliau dari tampuk
kepemimpinan dan menjadikan beliau tahanan rumah hingga akhirnya beliau
meninggal karena sakit yang dideritanya? Sebuah pertanyaan yang sampai sekarang
sulit untuk dijawab.
Angkatan darat
menganggap Supersemar sebagai tanda pelimpahan kekuasaan dari Presiden Soekarno
kepada Jenderal Soeharto. Supersemar memang berisi pelimpahan wewenang kepada
Jenderal Soeharto “untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk
terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan
jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan
Presiden/Pangti/PBR/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan negara RI,
dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR”. Setelah itu, Jenderal
Soeharto langsung bertindak cepat dengan mengeluarkan perintah harian kepada
segenap jajaran ABRI dan mengumumkan kelahiran Supersemar. Perintah harian itu
lalu disusul dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/PBR Nomor
1/3/1966. Isinya: membubarkan PKI termasuk bagian-bagian organisasinya dari
tingkat pusat sampai ke daerah serta semua organisasi yang
seasas/berlindung/bernaung di bawahnya. PKI juga dinyatakan sebagai organisasi
terlarang di seluruh RI.
Kemudian,
Jenderal Soeharto “melucuti” MPRS sehingga tak lama kemudian Presiden Soekarno
jatuh dan orde lama pun runtuh dan digantikan oleh orde baru pimpinan Jenderal
Soeharto yang bertahan selama 32 tahun.
A. Perekonomian
Indonesia Pada Masa Transisi
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht
Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor
asing mengambil keputusan ‘jual’ karena mereka para investor asing tidak
percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk
jangka pendek. Pemerintan Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman itu
mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai
terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.
Apa yang
terjadi di Thailand akhirnya merebet ke Indonesia dan beberapa negara Asia
lainnya. Rupiah Indonesia mulai merendah sekitar pada bulan Juli 1997, dari Rp
2.500 menjadi Rp 2.950 per dolar AS. Nilai rupiah dalam dolar mulai tertekan
terus dan pada tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah, yakni Rp
2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun
1998, antara bulan Januaru-Februari sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS dan
pada bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS.
Nilai tukar
rupiah terus melemah, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret,
antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 Triliun dalam upaya mengimbangi
keterbatasan anggaran belanja. Pada tanggal 8 Oktober 1997, pemerintah
Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari
IMF.
Pada Oktober
1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangan
pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS. Pemerintah juga mengumumkan
pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat sehinnga hal itu
menjadi awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.
Krisis rupiah
yang akhirnya menjelma menjadi krisis ekonomi memunculkan suatu krisis politik.
Pada awalnya, pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto akhirnya digantikan
oleh wakilnya, yakni B.J. Habibie. Walaupun, Soeharto sudah turun dari jabatannya
tetap saja tidak terjadi perubahan-perubahan nyata karena masih adanya
korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga pada masa Presiden Habibie
masyarakat menyebutnya pemerintahan transisi.
Keadaan sistem
ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik
sebagai berikut:
Kegoncangan
terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp 2500
menjadi Rp 2650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak
stabil.
Krisis rupiah
akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisis ekonomi yang kemudian
memuncuilkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Pada awal
pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Namun,
ternyata pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, sehingga
kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN
semakin menjadi, banyak kerusuhan.
B. Biaya
Sosial Pada Masa Transisi
Biaya sosial
yang didapat rakyat semakin besar jika masa transisi semakin lama. Pada saat ini
saja sudah dapat disaksikan betapa besarnya penderitaan rakyat akibat berbagai
kebijakan ekonomi yang dihasilkan di masa transisi. Keluarga yang mendaftarkan
diri sebagai keluarga miskin bertambah menjadi 10 juta keluarga. Setelah
melalui verifikasi pemerintah, hanya 2,5 juta keluarga yang berhak menerima
bantuan langsung tunai (BLT). Sebelumnya sudah ada 15 juta keluarga yang
menerima BLT. Dengan demikian total keluarga yang akan mendapat BLT adalah 17,5
juta. Jika yang 15 juta ditambahkan dengan 10 juta keluarga yang mengusulkan
mendapat BLT maka akan ada 25 juta keluarga miskin di Indonesia. Jika
diasumsikan setiap keluarga terdiri dari 4 orang maka jumlah orang miskin
adalah sebesar 100 juta jiwa.
Sementara
jumlah keluarga yang berada di atas kriteria keluarga miskin jumlahnya juga
tidak sedikit. Disamping itu kriteria keluarga miskin juga masih bisa
diperdebatkan mengingat selama ini pengertian miskin oleh pemerintah belum
sesuai dengan realitas di masyarakat. Keluarga miskin dicirikan dengan rumah kayu
atau non tembok dan tidak memiliki televisi. Padahal keluarga yang rumahnya
tembok dan memiliki televisi banyak juga yang tergolong miskin karena mereka
tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya dan sulit memenuhi biaya kesehatan serta
sulit memnuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Paradoks antara
perkembangan demokrasi dan peningkatan jumlah penduduk miskin adalah hasil dari
semakin panjangnya masa transisi yang harus dilalui bangsa Indonesia. Tidak
pernah terpikirkan kapan bisa berakhir. Hal ini juga sangat tergantung kepada
pemerintah karena konsekuensi dari pemilihan periden langsung adalah timbulnya
hak presiden menjabarkan visi pemerintahannya. Jika pemerintah terjebak kepada
dinamika politik yang berkembang, maka bisa diramalkan transisi akan lebih panjang.
Ini mengakibatkan tumpulnya kepekaan terhadap kesulitan ekonomi rakyat.
Memburuknya kinerja ekonomi, suburnya praktik
korupsi, dan suasana politik yang centang perenang selama 10 tahun reformasi
memaksa rakyat kembali berpaling pada Soeharto. Baik tidak baik, Soeharto lebih
baik. Semiskin-miskinya era soeharto, rakyat tidak pernah antre minyak tanah
dan minyak goreng serta kesulitan membeli tahu dan tempe.
Soeharto
berhasil membangun pertanian dan manufaktur. Ia mampu membalikan posisi
Indonesia sebagai Importir beras terbesar di dunia menjadi eksportir beras.
Pembangunan sistematis terarah lewat pelita demi pelita berhasil menurunkan
angka kemiskinan, buta, kematian dan laju pertumbuhan penduduk.
C. Ekonomi
Indonesia pada Masa Presiden BJ Habibie
Presiden BJ
Habibie adalah presiden pertama di era reformasi. Dalam periode awal menjabat
presiden beliau masing dianggap berbau rezim Orde Baru dan kepanjangan dari
tangan Soeharto, maklum dia adalah salah satu orang yang paling dekat dan di
percaya oleh Soeharto. Habibie mewarisi kondisi kacau balau pasca pengunduran
diri Soeharto termasuk keadaan ekonomi Indonesia yang mengalami keterpurukan
yang otomatis menyebabkan kesejahteraan rakyat makin menurun. Sebelum berpikir
jauh, alangkah baiknya mengetahui dari definisi ekonomi itu sendiri. Ekonomi
merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas yang berhubungan
dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Istilah
“ekonomi” sendiri berasal dari kata Yunani oikos yang berarti “keluarga, rumah
tangga” dan nomos, atau “peraturan, aturan, hukum,” dan secara garis besar
diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga.”. Menurut
Bapak Ekonomi yaitu Adam Smith (1723 – 1790) dalam bukunya An Inquiry into the
Nature and Causes of the Wealth of Nation, biasa disingkat The Wealth of
Nation, yang diterbitkan pada tahun 1776 Ilmu ekonomi adalah Bahan kajian yang
mempelajari upaya manusia memenuhi kebutuhan hidup di masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraan. Jadi bagaimana kebijakan Habibie dalam kepemimpinannya untuk
meningkatkan dan memenuhi kebutuhan hidup rakyat Indonesia, inilah yang jadi
pembahasan.
Sejak krisis
moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan tahgun 1997, perusahaan
perusahaan swasta mengalami kerugaian yang tidak sedikit, bahkan pihak
perusahaan mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan
upah pekerjanya. Keadaan seperti ini menjadi masalah yang cukup berat karena
disatu sisi perusahaan mengalami kerugaian yang cukup besar dan disisi lain
para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutan para pekerja untuk menaikkan gaji
sangat sulit dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyak perusahaan yang
mengambil tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah PHK. Kondisi
perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan
bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga
barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda
masyarakat. Ini adalah kesalahan Pemerintah
Orde Baru yang mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia
sebagai negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di
Masyarakat Indonesia yang merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat
pendidikan yang tergolong masih rendah. Dan ujung-ujungnya masyarakat miskin
Indonesia menjadi bertambah dan bertambah pula beban pemerintah dalam
mendongkrak perekonomian guna meningkatkan kesejehteraan rakyat. Habibie yang
menjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba parah.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk dapat
mengatasi krisis ekonomi dan untuk menjalankan pemerintahan, Presiden Habibie
tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri
dari kabinetnya. Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang
ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi
Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu
diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
Langkah pertama
yang dilakukan BJ Habibie dalam mengatasi krisis ekonomi Indonesia antara lain
mendapatkan kembali dukungan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan
komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi mulai positif pada Triwulan I dan II tahun 1999. Hal ini menunjukkan
bahwa perekonomian Indonesia mengalami pemulihan. Untuk mewadahi reformasi
ekonomi telah diberlakukan beberapa Undang-Undang yang mendukung persaingan
sehat, seperti UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat
dan UU Perlindungan Konsumen. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan
ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persai ngan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Sedangkan Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha. Dan semuanya berdasarkan kepada asas Demokrasi Ekonomi dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum. Serta untuk mecapai tujuan menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan
persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan
berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku
usaha kecil.
Pengembangan
ekonomi kerakyatan yang dalam rangka memberdayakan masyarakat, meningkatkan
kesejahteraan dan memperkuat ketahanan ekonomi sosial penekanannya adalah pada
usaha kecil, menengah dan koperasi menjadi salah satu perhatian utama. Nilai
tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp 12.000-an per
dolar pada awal terjadinya krisis moneter dan utang luar negeri yang jatuh
tempo sehinga membengkak akibat depresiasi (penyusutan) rupiah. Hal ini
diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi
meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana. Ada beberapa hal
yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk memperbaiki perekonomian
Indonesia antaranya :
1.
Merekapitulasi perbankan dan menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih
fokus mengurusi perekonomian.
Bank Indonesia
adalah lembaga negara yang independent berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia didukung oleh 3 (tiga) pilar yang
merupakan 3 (tiga) bidang utama tugas Bank Indonesia yaitu :
Menetapkan dan
melaksanakan kebijaksanaan moneter
Mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran
Mengatur dan
mengawasi Bank
2. Melikuidasi
beberapa bank bermasalah.
Likuiditas
adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Pengertian
lain adalah kemampuan seseorang atau perusahaan untuk memenuhi kewajiban atau
utang yang segera harus dibayar dengan harta lancarnya. Banyaknya utang
perusahaan swasta yang jatuh tempo dan tak mampu membayarnya dan pada akhirnya
pemerintah mengambil alih bank-bank yang bermasalah dengan tujuan menjaga
kestabilan ekonomi Indonesia yang pada masa itu masih rapuh.
3. Menaikan
nilai tukar rupiah
Selama lima
bulan pertama tahun 1998, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berfluktuasi.
Selama triwulan pertama, nilai tukar rupiah rata-rata mencapai sekitar Rp9200,-
dan selanjutnya menurun menjadi sekitar Rp8000 dalam bulan April hingga
pertengahan Mei. Nilai tukar rupiah cenderung di atas Rp10.000,- sejak minggu
ketiga bulan Mei. Kecenderungan meningkatnya nilai tukar rupiah sejak bulan Mei
1998 terkait dengan kondisi sosial politik yang bergejolak. nilai tukar rupiah
menguat hingga Rp. 6500 per dollar AS di akhir masa pemerintahnnya.
4.
Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
Pada tanggal 15
januari 1998 (masih orde baru ) Indonesia telah menandatangani 50 butir
kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF. Salah satunya adalah
memberikan bantuan (pinjaman) kepada bank-bank yang mengalami masalah
likuiditas. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF
dalam mengatasi masalah krisis. Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) merupakan konsekuensi diterbitkannya kebijakan pemerintah yang tertuang
dalam Kepres No.26/1998 dan Kepres No.55/1998. Keppres itu terbit setelah
sebelumnya didahului munculnya Surat Gubernur BI (Soedradjad Djiwandono, ketika
itu) tertanggal 26 Desember 1997 kepada Presiden dan disetujui oleh Presiden
Soeharto sesuai surat Mensesneg No.R 183/M.sesneg/12/19997. Atas dasar hukum itulah
Bank Indonesia melaksanakan penyaluran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)
kepada perbankan nasional. Total BLBI yang dikucurkan hingga program penyehatan
perbankan nasional selesai mencapai Rp144,5 triliun, dana itu tersalur ke 48
bank.
Pada tahun 1999
di zaman Presiden BJ Habibie sebanyak 48 Bankir penerima BLBI melakukan
penyelesaiaan settlement aset atas BLBI yang diterimanya melalui berbagai macam
perjanjian dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang terdiri dari
lima bankir mengikat perjanjian dengan skema Master of Settlement Acquisition
Agreement (MSAA) dimana nilai aset yang diserahkan kepada pemerintah sama
dengan total hutang BLBI yakni sebesar Rp89,2 triliun, tiga bankir
menyelesaikan utang dengan mengikat perjanjian Master of Refinancing and Notes
Issuence Agreement (MRNIA) dimana nilai aset lebih kecil dibandingkan hutang
BLBI yang diterima sehingga harus ditambah personal guarantee dengan total
utang BLBI sebesar Rp22,7 triliun.Selain itu terdapat 25 bankir mengikat perjanjian
penyelesaian hutang melalui skema Akte Pengakuan Utang (APU) sebesar Rp20.8
triliun, sementara 15 bankir semua asetnya langsung ditangani oleh Bank
Indonesia yang sampai hari ini belum jelas pertanggung jawabannya sebesar
Rp11,8 triliun. Jadi untuk MSAA dan MRNIA saja sudah 77 % mewakili penyelesaain
BLBI. Khusus untuk perjanjian APU tidak semua menandatanganinnya di era
Presiden Habibie, sebagian di era Presiden Abdurahman ‘Gusdur’ Wahid, sebagian
lagi dimasa Presiden Megawati. Sementara sebagian yang tidak kooperatif dan
diserahkan kepolisi pada masa pemerintahan Megawati jumlahnya delapan orang,
diantarannya Atang Latief (Bank Bira), James Januardy (Bank Namura), Ulung
Bursa (Lautan Berlian).
Beberapa
keberhasilan ekonomi di era Habibie sebenarnya tidak lepas dari usaha kerja
keras para kabinetnya yang reformis. Namun, perlu disadari bahwa Habibie
bukanlah presiden yang benar-benar reformis dalam menolak kebijakan ekonomi ala
IMF. Dengan keterbatasannya, beliau terpaksa menjalani 50 butir kesepakatan (LoI)
antara pemerintah Indonesia dengan IMF, sehingga penangganan krisis ekonomi di
Indonesia pada hakikatnya lebih pada penyembuhan dengan “obat generik”, bukan
penyembuhan ekonomi “terapis” ataupun “obat tradisional”. Sehingga ketika
meninggalkan tampuk kekuasaan, Indonesia masih rapuh. Disisi lain, Habibie
masih sangat mempercayai tokoh-tokoh Orde baru duduk di kabinetnya, padahal
masyarakat menuntut reformasi. Dan tampaknya, Habibie memang menempatkan
dirinya sebagai Presiden Transisi, bukan Presiden yang Reformis.
D. Peran Pemerintah Dalam Masa Transisi
Masa transisi yang panjang perlu
disikapi dengan melihat kebijakan ekonomi apa yang bisa mengeluarkan rakyat
dari jebakan masa transisi. Jebakan transisi menumbuhkembangkan birokrasi yang kurang
peka terhadap kesulitan ekonomi rakyat. Untuk itu perlu adanya lembaga di luar
birokrasi yang mampu memberikan pencerahan ekonomi seperti halnya kemunculan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa memberikan sedikit pencerahan
dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Zakat adalah
potensi yang selama ini belum tergarap secara optimal. Sosialisasinya masih
sangat minim. Meskipun masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim, namun
kesadaran dan pengetahuan tentang kewajiban zakat relatif masih kurang. Di
tengah carut marut masa transisi, sosialisasi zakat perlu diperkuat agar
terjadi distribusi aset dalam skala ekonomi yang besar.
Untuk itu perlu
dibuat lembaga yang menangani zakat yang anggotanya diseleksi dan diuji
kelayakan dan kepatutan di depan DPR agar didapatkan personil yang mampu
mengelola masalah zakat dengan baik serta mendapatkan dukungan dari pemerintah
baik berupa dana maupun lainnya.
Pemerintah
perlu diberikan masukan yang intensif untuk masalah ini agar terbuka
pemikirannya untuk memperbaiki ekonomi rakyat. Kebijakan memperbaiki ekonomi
rakyat tak lepas dari upaya pengurangan jumlah kemiskinan. Pada masa tansisi
ini, rakyat miskin menjadi pihak yang paling merasakan akibat kebnijakan
pemerintah seperti kenaikan harga BBM yang menyebabkan inflasi tinggi.
Program
pemerintah bagi orang miskin masih kurang efektif akibat birokrasi yang kurang
peka terhadap beban penderitaan rakyat, namun di sisi lain diakui distribusinya
sudah lebih baik dan ada niat baik dari pemerintah. Untuk itulah pembentukan
Komisi Zakat Nasional diperlukan agar adanya lembaga yang memfokuskan diri
serta peka terhadap masalah kemiskinan.
Di masa
transisi ini, di tengah dominannya masalah politik, perhatian kepada orang
miskin masih kurang. Ini dapat dilihat dari kebijakan ekonomi yang tercermin di
APBN. Maka mau tak mau perlu ada dana yang berasal dari luar APBN. Zakat adalah
salah satu sumber dana yang potensial. Sumber dana lain tentunya ada juga,
namun perlu ada pihak yang mengemukakan hal ini agar publik dan pemerintah
mengetahuinya.
Zakat adalah
salah satu bentuk redistribusi aset yang memiliki nilai spriritual. Dengan
jumlah orang Islam yang besar, potensi zakat juga besar. Penyaluran zakat yang
berskala ekonomi akan membantu pemberdayaan orang miskin sehingga mereka bisa
mandiri dan melepaskan ketergantungan dari bantuan zakat. Dengan demikian kelak
mereka bisa menjadi pembayar zakat. Jika ini sudah terjadi, pada gilirannya
akan membantu kebijakan ekonomi pemerintah.
Di masa transisi ini, kebijakan ekonomi
pemerintah lebih mengharapkan adanya investasi dari luar yang akan mendatangkan
devisa, modal serta memberi peluang kerja kepada rakyat. Sayangnya, iklim
investasi di Indonesia saat ini masih kurang menarik dibanding negara Asia
Tenggara lainnya. Dengan adanya kebijakan zakat, jelas akan membantu
pemerintah. Pemerintah perlu juga didorong agar komisi zakat nasional bisa
memberikan hasil yang signifikan bagi pengurangan angka kemisknan dan
memberikan efek muliplier bagi ekonomi.
Menyikapi masa
transisi yang panjang ini, kemiskinan harus mendapat perhatian. Upaya
pemerintah keluar dari krisis masih didominasi dominannya konflik kepentingan
sehingga kepentingan nasional tidak berada di depan. Inilah yang menyebabkan
berlarutnya masa transisi. Zakat adalah posisi yang masih belum digarap dengan
baik dan dalam skala ekonomi, padahal ia tidak berbenturan dengan konflik
kepentingan. Hanya saja diperlukan orang-orang yang mau menggerakkan hal ini,
termasuk menyampaikannya kepada pemerintah. Dan jutaan rakyat miskinpun menanti
tangan-tangan yang tulus ikhlas mengangkat mereka dari kesengsaraan yang
berkepanjangan. Tangan yang di atas sangat dinantikan perannya untuk membantu
tangan yang di bawah agar keberkahan turun di muka bumi.
Sebagian orang
meyakini bahwa demokrasi dapat mengurangi bahkan memberantas kemiskinan. Namun
di Indonesia, demokrasi yang kian mekar belum menunjukkan ke arah tersebut,
bahkan timbul berbagai paradoks. Vietnam yang komunis, perekonomiannya mampu
menunjukkan kinerja yang lebih baik. Namun demikian, pilihan terhadap demokrasi
yang sudah terlaksanan jangan sampai menghambat usaha-usaha pengoptimalan
zakat. Bahkan sebaliknya, momentum demokratisasi harus mampu menjadi alat
mengintensifkan pengurusan zakat dan permasalahannya.
Para pemimpin
umat mesti menyikapi masa transisi ini dengan memberi perhatian yang besar
kepada masalah kemiskinan. Masa transisi yang panjang yang diwarnai konflik
kepentingan akan menjauhkan perhatian kepada masalah kemiskinan. Para pemimpin
umat dapat memanfaatkan momentum demokrasi sebagai upaya pemihakan kepada
rakyat miskin yang tidak hanya bertambah jumlahnya, akan tetapi semakin sulit
memenuhi kebutuhan primernya.
Menyikapi masa
transisi yang panjang hendaknya dengan mencari solusi yang bisa dimanfaatkan,
disamping mengkritisi kebijakan ekonomi yang kadang jauh dari keberpihakan
terhadap kesejahteraan rakyat.
http://y2kandroid.blogspot.com/2014/03/masa-transisi-orde-lama-menuju-orde-baru.html